Tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi menuntut manusia untuk siap menghadapi berbagai tantangan. Sejak dimulainya revolusi industri 4.0, dunia dituntut untuk bergerak lebih cepat dengan memanfaatkan bantuan teknologi. Sejak dikenalkan pada tahun 2016, perkembangan teknologi industry 4.0 terjadi begitu cepat dan memunculkan istilah-istilah baru seperti Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Big Data, Augmented Reality, Simulation, Robotic, hingga Cloud System. Keseluruhan istilah tersebut berkaitan dengan perkembangan teknologi yang mampu menggantikan peran manusia dalam beberapa bidang di sektor industri. Sebagai contoh, saat ini perusahaan-perusahaan besar mulai menggunakan Applicant Tracking System dalam menyalin CV dari para pelamar pekerjaan, hingga penggunaan teknologi dalam proses produksi yang mengakibatkan pengurangan tenaga kerja manusia. Lalu, saat dunia masih berusaha beradaptasi dengan revolusi industri 4.0 tersebut, Jepang memulai revolusi baru yang dikenal dengan sebutan Society 5.0.
Apa itu Society 5.0?
Konsep Society 5.0 merupakan sebuah resolusi yang digagaskan oleh Jepang sebagai penyempurnaan dari konsep pendahulunya yaitu revolusi industry 4.0 pada tahun 2019 lalu. Jika konsep revolusi industri 4.0 berkaitan dengan penggunaaan teknologi di berbagai sektor kehidupan manusia, Society 5.0 tidak jauh berbeda. Konsep ini masih mengusung teknologi sebagai poin utamanya, hanya saja teknologi bukanlah menggantikan manusia, namun menjadi bagian dari manusia itu sendiri sehingga membantu kehidupan lebih mudah dan lebih cepat. Dalam Society 5.0, manusia harus mampu mengintegrasikan teknologi dan internet sehingga mampu menciptakan nilai baru melalui perkembangannya dan mengurangi kesenjangan serta masalah ekonomi di kemudian hari.
Lalu, bagaimana Jepang mempersiapkan sumber daya manusianya dalam mewujudkan visi tersebut?
Dalam menyambut visi Society 5.0 tersebut, Jepang membuat beberapa perubahan dalam sektor pendidikannya. Perubahan pertama yang dilakukan adalah pendekatan penilaian yang lebih fleksibel. Penilaian yang digunakan oleh pendidikan Jepang tidak lagi terfokus pada “gagal” ataupun “berhasil” naik kelas, namun lebih kepada penyediaan kelas-kelas tambahan bagi siswa yang masih belum menguasai bidang pelajaran tertentu. Sebagai contoh, seorang siswa berhasil naik ke kelas 5 namun belum menguasai bidang matematika, maka ia bisa mengambil kelas pengulangan di bidang matematika tersebut sampai siswanya berhasil memahami pelajaran.
Yoshimasa Hayashi, Menteri Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang, mengungkapkan bahwa skill dasar yang harus disempurnakan ada di kelas 5, 6, dan 7. Skill-skill dasar ini yang merupakan fondasi dari segalanya. Untuk itu, Jepang sangat menekankan penguasaan skill-skill dasar seperti matematika, kemampuan membaca, serta kemampuan komunikasi dan soft skill yang mendukung pengetahuan lainnya.
Perubahan kedua yang dilakukan Jepang adalah dengan menghilangkan batasan antara jurusan dan mata pelajaran di universitas. Dilansir dari Foreign Policy, sistem ujian masuk universitas dibagi ke dalam dua grup yaitu himpunan ilmu sains dan teknologi serta himpunan sosial dan humaniora. Sistem seperti ini, menurut Hayashi tidak praktis. Hayashi berencana untuk mengubah sistem pendidikan di mana mata pelajaran seperti matematika, data science dan programming menjadi mata kuliah dasar yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa di jurusan manapun. Hayashi menekankan bahwa meskipun jurusan yang diambil adalah fisika, pelajaran seperti filosofi dan ilmu humaniora yang dapat membantu menunjang karir juga harus dipelajari. Hal ini dapat lebih mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya capable di bidangnya, namun juga bisa menguasai ilmu lain sehingga bisa mengimbangi perkembangan teknologi yang ada.