Suatu kali kaum dhu‘afa dari kalangan Muhajirin mendatangi Nabi Saw memberitahukan sesuatu hal yang membebani pikirannya . Mereka berkata: “Ahli al-Dutsur telah memperoleh derajat yang tinggi dan nikmat yang abadi”. Nabi Saw dengan tenang dan santai bertanya kepada mereka, “Apakah maksud derajat yang tinggi dan nikmat yang abadi tersebut?”. Kaum Muhajirin menjawab: “Mereka salat sebagaimana kami salat, dan puasa sebagaimana kami puasa. Tetapi mereka mampu bersedekah, sedangkan kami tidak sanggup. Mereka sanggup membebaskan budak, sedangkan kami tidak sanggup.
Menanggapi kegelisahan mereka, maka Nabi Saw bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang mampu membuat kalian memperoleh derajat dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang sebelum kalian. Begitu juga, akan meninggikan kalian dari generasi baru setelah ini. Bahkan tidak akan ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali yang ikut serta melakukan sebagaimana kalian”. Mereka berkata: “Tentu wahai Rasulullah”. Nabi Saw meneruskan sabdanya, “Hendaklah kalian bertasbih, bertakbir dan bertahmid setiap selesai salat sebanyak 33 kali”.
Di antara kalangan Muhajirin tersebut ada Abu Hurairah. Ia hijrah dari Yaman pada saat perang Khaibar, tahun ke-7 Hijriyyah. Adapun ahli al-Dutsur merupakan orang-orang yang sangat kaya di kalangan sahabat Nabi. Namun, kekayaan yang mereka miliki tidak menyebabkan mereka berpaling dari ibadah. Keadaan tersebut membuat “iri dan cemburu” para sahabat yang belum mapan secara finansial. Terutama ketika ahli al-Dutsur mampu untuk bersedekah sedangkan mereka untuk mendapatkan makan untuk sehari saja merasa sangat kesulitan. Hal ini terlihat dari kisah Abu Hurairah yang kelaparan, sehingga harus menahan lapar dengan meletakkan batu di perut mereka untuk menahan lapar.
Tetapi Nabi Saw mampu memberikan kesadaran kepada mereka bahwa beramal saleh tidak harus menunggu waktu bergelimang harta terlebih dahulu. Namun, bisa dengan memperbanyak hal-hal yang sunnat, seperti berzikir dengan kuantitas tertentu. Nabi mengajarkan agar mereka membaca zikir dengan bilangan 33 kali untuk setiap kalimat setiap selesai salat. Hadis ini merupakan dalil yang menganjurkan untuk menghitung bilangan zikir.
Tidak beberapa hari setelah para sahabat mengamalkan anjuran Nabi Saw. Ternyata para sahabat yang berekonomi mapan pun mendapatkan informasi mengenai ini, sehingga mereka juga ikut berzikir sebagaimana disebutkan Nabi Saw. Kenyataan tersebut membuat beberapa sahabat dhu‘afa dari Muhajirin mendatangi Nabi Saw untuk mengadukan rasa iri dan dengki mereka. Nabi Saw hanya menanggapi:
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِهِ مَنْ يَشَاءُ. (رواه مسلم بَاب اسْتِحْبَابِ الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ وَبَيَانِ صِفَتِهِ من كتاب المساجد/493)
“Demikianlah kelebihan anugerah dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (HR. Muslim).
Alat Tasbih dan Hitungan Zikir di Kalangan Salaf
Imam al-Dzahabi murid Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa setelah Nabi Saw wafat, Abu Hurairah mendapatkan kekayaan dan menjadi amir (walikota) di Madinah. Namun, Abu Hurairah tetap terus mengamalkan anjuran Nabi Saw untuk banyak berzikir di tengah kesibukan sebagai pemimpin. Ia tidak memahami hadis Nabi Saw secara sempit, yang berarti hanya boleh menghitung zikir sampai 33 bilangan, sedangkan lebih dari itu adalah bid’ah. Bahkan sebaliknya, ia malah mempunyai tali benang yang mempunyai 2000 simpul. Ia berzikir dengan sebanyak jumlah simpulan tersebut setiap malam sebelum tidur. Bahkan, Abu Hurairah pernah mengatakan, “Aku beristighfar dan bertobat kepada Allah sebanyak 12.000 kali setiap hari, yaitu sebanyak dosa-dosaku”. (Tadzkirah al-Huffadz, I/23).
Mungkin, jumlah tersebut terlalu banyak atau malah dianggap tidak mungkin bagi orang yang belum pernah mencobanya. Namun, hingga sekarang masih banyak ulama yang mengikuti tradisi Abu Hurairah. Selain itu, juga ditemukan bahwa sebagian ulama merapikan tradisi tersebut dengan membuat halaqah zikir, lalu membimbing siapa saja yang mau berzikir dengan jumlah lebih banyak. Tujuan Abu Hurairah dan para ulama tentu bukan pada kuantitas, namun hal tersebut merupakan salah satu usaha untuk membiasakan sertamelatih diri agar terbiasa berzikir dan mengingat setiap saat kepada Allah.
Dalam hal ini, ada beberapa orang yang keberatan dan tidak terima dalam menerima kenyataan bahwa sahabat Nabi Saw menggunakan alat penghitung ketika berzikir. Pemikiran orang-orang tersebut didasari dari anggapan mereka bahwa Nabi Saw tidak pernah melakukannya.Jadi jika Nabi SAW tidak pernah melakukannya maka tidak boleh dilakukan. Memang tidak ditemukan riwayat bahwa Nabi Saw melakukannya. Ketika ada istrinya menghitung menggunakan biji kurma, maka Nabi Saw menganjurkannya menggunakan jari-jari tangan. Ini dikarenakan jari-jari tangan kelak akan menjadi saksi pada hari Akhir (Kiamat) nantinya . Namun pada dasarnya, Nabi Saw tidak melarang menggunakan alat agar bisa mencapai bilangan tertentu.
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكْسِبَ كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ حَسَنَةٍ فَسَأَلَهُ سَائِلٌ مِنْ جُلَسَائِهِ كَيْفَ يَكْسِبُ أَحَدُنَا أَلْفَ حَسَنَةٍ قَالَ يُسَبِّحُ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ فَيُكْتَبُ لَهُ أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ يُحَطُّ عَنْهُ أَلْفُ خَطِيئَةٍ. (رواه مسلم فى باب فَضْلِ التَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ، 4866)
Nabi bersabda: “Sanggupkah salah seorang kalian berusaha untuk memperoleh 1000 kebaikan setiap hari”. Salah seorang sahabat Nabi yang ikut dalam majlis tersebut bertanya: “Bagaimana cara kami mampu memperoleh seribu kebaikan tersebut?” Nabi Saw bersabda: “Caranya adalah dia bertasbih 100 kali, niscaya dicatat baginya 1000 kebaikan dan digugurkan darinya 1000 keburukan”. (HR. Muslim)
Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan amalan ‘Umair Ibn Hani’ seorang tabi‘in yang tsiqqah (terpercaya) sebagaimana dalam teks berikut:
كَانَ عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ يُصَلِّي كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ سَجْدَةٍ وَيُسَبِّحُ مِائَةَ أَلْفِ تَسْبِيحَةٍ. (رواه الترمذى)
‘Umair bin Hani’ salat sehari sebanyak 1000 sujud dan bertasbih 1000 kali tasbih. (HR al-Tirmidzi, v/480).
Ini menunjukkan bahwa para sahabat dan tabi’in dari kalangan salaf memahami zikir yang diajarkan Nabi boleh dengan menentukan bilangan tertentu.
Dalam hadis lain juga disebutkan:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم من قال سبحان الله وبحمده مائة مرة غفرت له ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر. قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح.
“Nabi SAW bersabda: Siapa yang yang mengucapkan kalimat Subhanallah al-Azhim 100 kali, niscaya diampuni dosa-dosa (kecil)nya walaupun sebanyak buih di lautan.” (Imam al-Tirmidzi, hasan sahih).
عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم لأصحابه ثم قولوا سبحان الله وبحمده مائة مرة من قالها مرة كتبت له عشرا ومن قالها عشرا كتبت له مائة ومن قالها مائة كتبت له ألفا ومن زاد زاده الله ومن أستغفر غفر الله له. قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب.
Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada para sahabat: “Sebutlah olehmu Subhanallah wa bi hamdih 100 kali. Siapa yang mengucapkannya sekali, niscaya dicatat baginya sepuluh kebaikan. Siapa yang mengucapkannya sepuluh kali, niscaya dicatat baginya seratus kebaikan, siapa yang mengucapkannya seratus niscaya dicatat baginya seribu kebaikan. Siapa yang menambah lebih banyak maka Allah akan menambah pula baginya kebaikan, dan siapa yang mohon ampun bagi Allah niscaya diampuni.” (HR Imam Tirmidzi, hadis hasan)
Hadis ini menyebutkan bahwa orang-orang yang menambah jumlah bacaan lebih banyak dari 100, maka Allah akan menambah pula kebaikan untuknya. Berdasarkan hadis ini para ulama tidak membatasi jumlah bilangan zikir hanya pada bilangan 10, 33, atau 100. penyebutan bilangan ini hanya sebagai contoh saja , bukan untuk membatasi (hashr). Seandainya hadis ini untuk membatasi, maka akan banyak umat Islam yang menjadi ahli bid’ah. Ini dikarenakan setiap kali selesai salat, ada yang menambah dan mengurangi bilangan zikir dari 33 kali ke bilangan yang disukai. Siapa yang membatasi sesuatu yang luas dari Sunnah Nabi Saw adalah ahli bid‘ah. Ini dikarenakan mengurangi substansi dari Sunnah Nabi Saw adalah salah satu dari bentuk bid‘ah.
Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ummu Hani’ ternyata mempunyai tradisi berzikir dengan jumlah yang sulit dilakukan oleh orang pada zaman sekarang. Walaupun sangat banyak zikir yang dilafazkan Abu Hurairah, tetapi ia tetap menangis ketika menjelang kematiannya. Ketika ditanya, “Apakah yang menyebabkan engkau menangis wahai Abu Hurairah?”. Ia menjawab: “Bukan permasalahan dunia kalian yang aku tangisi, tetapi aku menangis karena perjalanan hidupku (setelah mati) masih jauh. Padahal bekalku hanya sedikit. Aku akan melewati jembatan untuk masuk ke surrga atau jatuh ke neraka, sedangkan aku tidak tahu tempat mana yang akan merenggutku”. Kisah ini sebagaimana diriwayatkan Abu Nu‘aim. (Hilyat al-Awliya’, I/200).
Kesimpulan:
Pertama, berzikir dengan bilangan tertentu adalah salah satu Sunnah Nabi Saw, maka melakukannya sangat dianjurkan.
Kedua, berzikir dengan menggunakan alat tasbih merupakan amalan ulama al-salaf al-shalih dari kalangan sahabat dan tabi‘in.
والله أعلم بالصواب..
Referensi:
Muslim, Shahih Muslim
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi
Abu Nu’aim al-Asbihani, Hilyat al-Awliya’
Al-Dahahabi, Tadzkirat al-Huffaz
**Penulis: Arrazy Hasyim dilahirkan di Koto nan IV Payakumbuh.